Bila spiritualitas tidak hanya sebagai bahan kajian, melainkan penghayatan atau "the way of being", maka seseorang akan senantiasa merasakan kehadiran Tuhan di manapun dan kapan pun dia berada. Orang yang meyakini betul dan berasakan betul hubungan intim antara dirinya dan Dzat Yang Agung serta sekaligus Pengasih, maka tidak ada lain kecuali ketenangan dan kesetabilan yang akan dirasakan. Posisi demikian ini tidak berarti melemahnya fungsi rasio dan nafsu, melainkan justeru berbagi instrumen yang ada ini akan lebih terarah dan tak pernah merasakan kekeringan energi dari Ilahi.
Dalam kehidupan modern ini kadangkala orang merasa capek yang diakibatkan oleh beban beratnya menyangga dan mempertahankan label-label atau topeng-topeng yang selama ini dijadikan identitasnya yang untuk sementara waktu memberikan kepuasan pada egonya.Karena sudah lamanya berbagai identitas itu sudah melekat, maka jati diri kita yang pada dasarnya "spiritual dan senantiasa haniif itu tidak sempat tumbuhdan berkembang.
Semakin orang itu mempertahankan dan mengejar kesenangan melalui identitas-identitas sekunder maka"sorrow, kekecewaan dan derita serta perasaan kalah sudah menghadang di depannya. Tetapi manakala seseorang itu semakin terlibat dalam komunikasi dan interaksi sosial dengan semangat memberi, berbagi kasih dan berpartisipasi, ia akan terhindar dari rasa kalah dan gagal. Ini tidak berarti semakin menjadi pasif, tetapi yang paling penting disini ialah kemampuan kita untuk membedakan antara penampilan yang bersifat partikal dan rasional pada dimensi lahirnya dan keteguhan serta ketulusan hati pada dimensi batinnya.
komentar:
(1) indahnya paradigma ini jk teraplikasikan namun sekedar wacana saja, mengapa org yg mrsa telah intim dgn dzat sang maha pencipta atw kita sebut org alim... bahwasannya duniawi bkanlah tujuannya mlainkan akhiratnya yg dituju, sbb duniawi bersifat smentara sdgkan akhirat kekal selama2nya, namun ada sglintir org yg paham ttg islam dan ahli ibadah memanfaatkan pemahamannya utk kekayaan pribadi.. bkan dr lillahita'la
(2) Realitas keberagamaan memang belum kalo tidak boleh dikatakan tidak, menyentuh pada dimensi ini. masih ingat das solen das sein?
pewacanaan memang sulit, bahkan lebih sulit aplikasi dalam peri hidup, maka tak berlebihan bila dikatakan aplikasi microsof yang memang sudah sulit dan rumit masih lebih sulit dan rumit dalam dunia spiritualitas.
(3)ak malah gak dong, realita yg ada pd diri msng2 individu sama to. tp beda dlm menghadapi unt menerima n melakukan realita dalam jiwa unt mendekatkan diri,shg brsha maksimal dlm hdp yg baik n benar. douer . . . .
(4) Membaca catatan ini, juga komentar2nya, menarik aku jauh kebelakang.... Seakan duduk bersama Imam Gozali, Rene Descartes, Fuad Hasan... Bahkan Freud. Wow, bisa2 aku orgasme spiritualistik.....
[tulisan Sosro Tiyono, dengan komentar dari temen2nya... salah satunya komentarku; tebak aja yang mana komentar dari isi kepalaku... hayo...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar